Posted by : Wira Sabtu, 19 September 2015

Pagi itu diriku tengah asik sendiri memainkan sebuah gadget di kamar. Ya, sebuah gadget yang lekat dengan logo robot berwarna hijau. Hampir setiap pagi aku berkutik memainkan game Clash of Clans sejenak sebelum beranjak bangun dari tempat tidur. Tiba-tiba terdengar gedoran dari luar kamarku. Perlahan pintu itu terbuka yang diikuti tengokan Ibu dai balik pintu.

“Wira bangun le… hari minggu kok masih ngebo aja di kamar”, ucap Ibuku dengan logat Jawanya yang khas.
“Iya Bu sebantar lima menit lagi bangun”, ucapku dengan malas.
“Ya ampun  le…libur-libur itu jangan tidur aja, bangun pagi dan kumpul dengan keluarga sambil sarapan.”
“Iya mama wira bangun deh, tapi Wira malas ma untuk bangun tidur.”
“kenapa le ? sepertinya ada yang Wira sembunyikan dari Ibu,” jawab Ibu penasaran.
“hmm tidak ada kok Bu.”

Aku pun segera bergegas lari ke kamar mandi untuk mandi pagi. Ibuku pun kemudian merapikan kasurku yang cukup berantakan sembari mengganti seprei yang lama tidak kuganti selama beberapa minggu. Memang, aku orang yang cukup malas untuk soal bersih-bersih. Sebenarnya aku memang sedang menyembunyikan sesuatu dari ibu. Pertengkaranku dengan Ayah semalam masih terbesit diingatanku dengan jelas. Ingatanku yang jelas bagaimana Ayahku memarahiku dengan intonasi yang tinggi dan kasar. Aku pun menghela nafas sejenak agar dapat melupakan ingatan yang sangat seram itu dan lekas mandi.

“Loh ibu masih di kamar toh,” kagetku melihat ibu yang masih berada di kamarku.
“Sini le Ibu mau bicara sebentar,” ibu melambai ke arahku untuk mendekat.
“Kamu ada apa to le ? tampaknya kamu trauma ya dengan Ayah semalam ? Sini coba ceritakan dengan Ibu.”

Mendengar suara Ibu yang lirih itu, membuatku akhirnya menceritakan isi kepalaku tentang pertengkaran dengan ayah semalam.

“Ibu, sejak pertengkaran semalam dengan ayah tentang rencana studiku ke Sri Lanka aku menjadi tidak semangat sekali, rasanya ayah tidak mendukungku Bu” ungkapku terus terang.
“Kamu memang kurang hati-hati ya le kalau memutuskan sesuatu. Masa kamu tidak mengerti maksud ayah sih le.”
“Tapi kan ma, kalau memang peluangnya besar kenapa tidak dicoba.”
“Rencana studimu ke luar negeri itu adalah langkah yang bagus loh le. Ayahmu sangat mendukung itu.”

Mendengar itu dari ibu, aku sedikit tersenyum bahwa diriku didukung untuk studi ke luar negeri.

“Tapi le…tidak cuma peluang keterima saja yang kamu pertimbangkan. Kamu kan juga harus mempertimbangkan finansial, kurikulum, dan kuliah yang kamu sedang jalani di semester 5 ini.”

Setelah mendengar itu, hatiku terenyuh dan tak menyangka bahwa keputusanku memang ada yang salah. Aku pun terdiam sembari mendengarkan nasehat Ibu yang dengan sabar memberikan penjelasan kepadaku.

“Asal kamu tahu ya le Ayahmu memang keras, tapi itu demi kebaikanmu Wira. Ayahmu sangat sayang sekali kepadamu makanya Ayahmu tidak ingin kamu menyesal di kemudian hari dengan keputusanmu yang terburu-buru,” Ibuku sambil mengelus kepalaku.
“Le ibu tahu kamu masih takut dengan ayah karna kerasnya. Tapi ingat, ayah peduli dengan pendidikanmu dan tidak ingin kamu menjadi orang gagal.”

Aku pun akhirnya menyadari bahwa diriku terburu-buru mengambil keputusan. Di dalam hatiku, aku memang salah akan keputusan ini. Seharusnya, aku mempertimbangkan dengan matang terlebih dahulu sebelum memutuskan sesuatu.  Aku menyadari bahwa seburuk-buruknya orang tua, mereka tetaplah orang tua kita, yang di dalam hati kecilnya selalu menyayangi anaknya agar tidak menjadi orang yang gagal. Terima Kasih Ayah Ibu. Aku sangat menyayangimu.

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

Popular Post

Instagram
Diberdayakan oleh Blogger.

- Copyright © Bolpen Bolpenan -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -