- Back to Home »
- Cerita »
- Prasangka
Posted by : Wira
Sabtu, 19 September 2015
“Wira bangun le… hari
minggu kok masih ngebo aja di kamar”, ucap Ibuku dengan logat Jawanya yang
khas.
“Iya Bu sebantar lima
menit lagi bangun”, ucapku dengan malas.
“Ya ampun le…libur-libur itu jangan tidur aja, bangun
pagi dan kumpul dengan keluarga sambil sarapan.”
“Iya mama wira bangun
deh, tapi Wira malas ma untuk bangun tidur.”
“kenapa le ? sepertinya ada yang Wira
sembunyikan dari Ibu,” jawab Ibu penasaran.
“hmm tidak ada kok Bu.”
Aku pun segera bergegas
lari ke kamar mandi untuk mandi pagi. Ibuku pun kemudian merapikan kasurku yang
cukup berantakan sembari mengganti seprei yang lama tidak kuganti selama
beberapa minggu. Memang, aku orang yang cukup malas untuk soal bersih-bersih.
Sebenarnya aku memang sedang menyembunyikan sesuatu dari ibu. Pertengkaranku
dengan Ayah semalam masih terbesit diingatanku dengan jelas. Ingatanku yang jelas
bagaimana Ayahku memarahiku dengan intonasi yang tinggi dan kasar. Aku pun
menghela nafas sejenak agar dapat melupakan ingatan yang sangat seram itu dan
lekas mandi.
“Loh ibu masih di kamar
toh,” kagetku melihat ibu yang masih berada di kamarku.
“Sini le Ibu mau bicara
sebentar,” ibu melambai ke arahku untuk mendekat.
“Kamu ada apa to le ?
tampaknya kamu trauma ya dengan Ayah semalam ? Sini coba ceritakan dengan Ibu.”
Mendengar suara Ibu
yang lirih itu, membuatku akhirnya menceritakan isi kepalaku tentang pertengkaran
dengan ayah semalam.
“Ibu, sejak
pertengkaran semalam dengan ayah tentang rencana studiku ke Sri Lanka aku
menjadi tidak semangat sekali, rasanya ayah tidak mendukungku Bu” ungkapku
terus terang.
“Kamu memang kurang
hati-hati ya le kalau memutuskan sesuatu. Masa kamu tidak mengerti maksud ayah
sih le.”
“Tapi kan ma, kalau
memang peluangnya besar kenapa tidak dicoba.”
“Rencana studimu ke
luar negeri itu adalah langkah yang bagus loh le. Ayahmu sangat mendukung itu.”
Mendengar itu dari ibu, aku sedikit
tersenyum bahwa diriku didukung untuk studi ke luar negeri.
“Tapi le…tidak cuma
peluang keterima saja yang kamu pertimbangkan. Kamu kan juga harus
mempertimbangkan finansial, kurikulum, dan kuliah yang kamu sedang jalani di
semester 5 ini.”
Setelah mendengar itu, hatiku terenyuh
dan tak menyangka bahwa keputusanku memang ada yang salah. Aku pun terdiam
sembari mendengarkan nasehat Ibu yang dengan sabar memberikan penjelasan
kepadaku.
“Asal
kamu tahu ya le Ayahmu memang keras, tapi itu demi kebaikanmu Wira. Ayahmu
sangat sayang sekali kepadamu makanya Ayahmu tidak ingin kamu menyesal di
kemudian hari dengan keputusanmu yang terburu-buru,” Ibuku sambil mengelus
kepalaku.
“Le
ibu tahu kamu masih takut dengan ayah karna kerasnya. Tapi ingat, ayah peduli
dengan pendidikanmu dan tidak ingin kamu menjadi orang gagal.”
Aku pun akhirnya menyadari bahwa diriku
terburu-buru mengambil keputusan. Di dalam hatiku, aku memang salah akan
keputusan ini. Seharusnya, aku mempertimbangkan dengan matang terlebih dahulu
sebelum memutuskan sesuatu. Aku menyadari bahwa
seburuk-buruknya orang tua, mereka tetaplah orang tua kita, yang di dalam hati
kecilnya selalu menyayangi anaknya agar tidak menjadi orang yang gagal. Terima
Kasih Ayah Ibu. Aku sangat menyayangimu.